Kupilih Diam
Misbah,
27 Nopember 2012
Hitam telah bersatu dengan malam
Kesunyian memberi symbol ketenangan
Terduduk manis aku bersandar
Menatap langit yang tiada berbintang
Bergetar
seluruh tubuhku
Dingin
ini semakin menusuk
Diam
dan tak mampu berbahasa
Hanya
rumput basah yang tertawa
Kupalingkan kepalaku menghadap kiri
dan kananku
Dengan jeritan dalam hati kutahan
beban sakit kepalaku
Serasa retak harapanku
Termakan keegoisan mahluk tuhan yang
lain
Kucari
senyum kemarin
Saat
sepi ini belum mencekam
Kutatah
sisa mimpi kemarin
Namun
lara datang menghantam
Terpaksa
kutundukkan kepalaku
Menjerit,
bertariak, namun itu dalam hati
Aku takut tuk melangkah
Tanah itu terlalu tajam
Kerikil itu menatapku dengan dendam
Debu itupun seakan ingin membaluyt
langkahku
Hanya
terdiam saat ini
Berteman
dengan ilusi
Karena
tiada yang menanti
Cerita perih kemarin
Misbah, 26 Nopember 2012
Kemarin ku terduduk sakit
Kolom jembatan kupoles menjadi istana
Walau jiwa tak berhenti menjerit
Namun sabar adalah permata
Masih
kuingat saat rombongan anjing pemerintah merobohkan rumahku
Tiangnya
dihantam buldoser
Atap
menjadi puing dilibasnya dengan keserakahan
Dan
perihnya,,,,
Ayah
dan ibuku dipukuli oleh tuan-tuan anjing Negara
Saat
itu pula kutanamkan mimpi dalam dadaku
Dingin menusuk kulitku dirumah baruku
Bertiang betong beralaskan sampah
Halamannya adalah sungai
Siang malamku
Diiringi lagu derai clackson mobil
dan motor
Yang kuharap, semangatku jangan
pernah tumbang dihantam lara
Seiring
umurku telah bertambah
Telah
kutatah batu-batu cadas kehidupan
Kuteguk
dalam-dalam air perih
Kutundukkan
kepala tanda penghormatan pada illahi
Karena
tahta dikalungkan dileherku
Kotak-kotak merah bersama nuraniku
Tak kan kubiarkan simiskin menangis
Kan kulibas anjing-anjing penjilat
Karena cukup perih hari kemarin yang
kurasa
Kuharap
jiwa penerus berjejer
Semangatlah jiwa muda
Berperang nasib ditanah gersang
Misbah, 25 Nopember 2012
Merajut benang dari tanah yang berlumpur
Menyusun istana dari kering tanah retak
Menikam hasrat bersama mimpi
Berharap tahta mendekat dalam mimpi
Panas
menyengat kulit
Mata
terbelalak kosong
Liur
serasa kering kerontang
Nadi
terhimpit berperang tak berdenyut
Seakan
ingin berteriak namun tak mampu
Berkata
hidup tapi ini adalah mati
Nasib ini terus memaksa
Aku lelah bertahan hidup
Namun aku pun takut mati
Aku takut…
Aku takut merasakan detik nafas
kuhirup
Mentari
terus memaksaku berjalan
Dialtar
gersang ini adalah ketenangan
Walau
perut keroncongan
Walau
terasa dingin jauh dari hangat peluk
Walau
terkadang serasa mati dgn mata terbuka
Walau
celotehan nyamuk terus mengganggu
Walau
panas memanggang punggung tuk bersandar
Tapi tangis si kecil adalah penopang
Kupaksakan diri ini tetap berdiri
Aku ingin anakku tetap bersekolah
Bersyair indah dalam hidupnya
Cukuplah aku menahan perih
Tuk nhidupmu oh……. anakku
Jiwa Hidup, Langkah sudah Mati
Misbah,
21 Nopember 2012
Melayang tinggi melewati batas kesadaran
Jiwa dalam kehampaan telah tenggelam tanpa senyum
Segudang harap telah berlalu bersama perih
Keyakinan telah menjadi satu dengan kepastian yang
sebenarnya tak pasti
Langkah
ini terasa ringan
Bersama
untaian senyum
Dalam
hentakan jiwa yang tak kan mati
Sekalipun
raga tak mampu bergerak
Sekalipun
ucap kata tak lagi menjadi syair
Sekalipun
telunjuk tak lagi tahu kepastian
Sekalipun
raut wajah berkerut dan menghitam
Sekalipun
tangis tanpa air mata
Diam adalah mati
Tapi berbicara mengantarkan jiwa dalam kematian
Kegalauan
yang tak berujung
Membuat
hidup tak bermakna
Menggoreskan
hitam tak dapat terhapus
Luka
itu telah mengangah
Member
perih yang tak berujung
Berdiri diatas puncak, bersahabatkan dengan jurang
Terhantam badai
Tertampar angin
Tertusuk hujan
Dan tertikam senyum kawan sendiri
Masih
banyak kata yang belum terucap
Karena
kerapuhan telah berkuasa
Kusebut
ini adalah kematian
Sekalipun
nadi masih berdenyut
Tapi
aku telah mati…
